Jumat, 02 Januari 2009

HUKUM TAKHLIFI & HUKUM WADH'I

A. HUKUM TAKLIFI
Setiap perbuatan dan keadaan dalam hukum islam dapat ditentukan hukumnya, perbuatan atau keadaan tersebut ditempatkan di dalam salah satu penggolongan hukum. Perbuatan orang yang dimaksud ialah perbuatan orang yang dapat dibebani hukum atau orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang menurut istilah disebut mukallaf.
Akham artinya hukum, sedangkan khomsah artinya lima sehingga al akham al khomsa artinya lima macam kaidah atau lima katagori penilaian mengenai benda atau tingkah laku manusia dalam Islam. Penggolongan hukum tersebut dinamakan Al Akham al Khomsa atau penggolongan hukum yang lima.

Menurut Imam Syafi’i, penggolongan (didasarkan pada sanksinya) tersebut terdiri:
a. Wajib
Perbuatan atas dasar suruhan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala kalau ditinggalkan akan berdosa.
Hukum wajib dapat dibedakan menjadi:
1) Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya
a) Wajib mutlak yaitu; perintah yang tidak ditentukkan waktu tertentu untuk melaksanakannya, misalnya ibadah haji bagi yang sudah mampu.
b) Wajib muaqqat yaitu; perintah yang ditentukkan waktu untuk melaksanakannya, misalnya puasa ramadhan.
2) Ditinjau dari segi siapa yang wajib mekasanakan
a) Wajib ‘aini yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah dewasa.
b) Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
3) Ditinjau dari segi kuantitasnya
a) Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya (jumlahnya).
b) Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
4) Ditinjau dari segi kendungan perintah
a) Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
b) Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada.[1]

b. Sunnah
Perbauatn atas dasar suruhan atau anjuran yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala sedang jika ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
1) Sunnah ‘amiyah yaitu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim.
2) Sunnah Kifayah yaitu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan cukup seorang saja.
3) Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul.
4) Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan.
5) Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia.[2]

c. Mubah
Yaitu kebolehan artinya boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah dapat dibagi menjadi 3 macam:
1) Dinyatakan dalam syara’ tidak berdosa untuk melakukannya
2) Tidak ada dalil yang mengharamkan
3) Dinyatakan dalam syara’ boleh memilih dilakukan atau tidak.[3]

d. Makruh
Lawan dari sunnah, yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan tidak berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Makruh dibedakan menjadi:
1) Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.
2) Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti.
3) Tarkul – aula ialah meniggalkan perbuatan-perbuatan yang amat diajurkan.[4]

e. Haram
Sebagai lawan dari wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Haram dibagi menjadi dua yaitu:
1) Haram Li Dzatihi yaitu perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena hal-hal lain yang hukumnya haram.
2) Haram Li Ghairihi yaitu perbuatan yang hukumnya haram karena berbarangan dengan perbuatan lain.[5]

B. HUKUM WADH'I
Selain hukum taklifi dalam syariat juga ada hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum.
Sebab ialah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami isteri.
Syarat adalah sesuatu yang kepadannya tergantung suatu hukum. Misalnya syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nizab (jumlah tertentu) dan haul (waktu tertentu), syarat sholat sempurna menghadap khiblat.Halangan atau mani’ adalah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.[6]
[1] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 28.
[2] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 28.
[3] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 30.
[4] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 30.
[5] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 29.
[6] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 30.